Saya ingin menulis. Tapi, tidak pernah bisa menulis seperti penulis lainnya. Saya memang bukan seorang penulis. Saya ingin berpolitik. Tapi, sungguh saya juga bukan politikus. Apalagi politikus ulung seperti teman-teman saya. Saya juga ingin berdiplomasi. Namun, saya juga bukan seorang diplomat. Akan tetapi hari ini saya harus menulis.inilah tulisan perdana saya.
Saya sedikit ingin berkisah. Lebih kurang sudah lima tahun saya menikmati damai yang telah dirajut dengan susah payah ini. Sering teman-teman aktivis, juga teman-teman eks kombatan mengajak untuk terlibat dalam aktifitas politik setelah 2006. Ajakan itu, selalu saya abaikan dengan alasan “Saya ingin menikmati damai ini”. Sebenarnya, dalam lubuk hati yang paling dalam saya mengingkari jawaban saya sendiri.
Sungguh, tidak bisa dipungkiri. Secara lahiriah Aceh sudah damai. Secara mayoritas pun DPRA sudah dikuasai oleh Partai Aceh (PA). Begitu juga dengan eksekutif. Sayangnya, damai ini hanya baru sebatas simbolisasi karena kebijakan yang dibuat oleh eksekutif dan legislative masih bisa diinterpensi, dan UUPA masih bisa diotak atik oleh Jakarta. Ini maknanya makna pemerintahan sendiri atau yang kerap disebut dengan self government belum diklaskan oleh Jakarta. Kalau sudah begini, bisa dikatakan damai di Aceh seumpama jiwa yang sedang kehilangan ruhnya.
Meski begitu, saya masih bisa bersyukur karna dentuman senjata tidak pernah terdengar lagi. Warung kopi sesak dengan cekikan para remaja dan serak parau bapak-bapak tua dan setengah baya. Kondisi ini jauh berbeda ketika tahun-tahun sebelum MOU Helsinki ditandatangani.
Alhamdulillah semua bisa menikmatinya dengan hati yang gembira. Sayangnya, kegembiraan yang luar biasa itu telah menjadikan kita lupa diri. Kita, lupa bahwa hari ini kita sedang dibuai sayang oleh mereka yang mengatasnamakan NKRI. Sepertinya, penyakit lupa diri ini tidak hanya di alami oleh rakyat dan sebagian eks kombatan. Ternyata, Gubernur Aceh juga mengalami hal yang sama, bahkan lebih kritis.
Saya masih ingat. Di tahun-tahun pertama rakyat masih bisa mendengar suara lantang Bapak Gubernur ketika meneriakkan agar butir-butir yang tertulis dalam MOU Helsinki di implementasikan dengan maksimal. Seiring berjalannya waktu ketegasan akan nasib MOU Helsinki yang dijabarkan dalam UUPA kian sepi diteriakkan. Hanya tersisa sosok pemimpin yang di mata saya terlihat bagai sosok yang hidupnya dipenuhi oleh tuntutan materil yang semakin hari semakin berlimpah.
Bagi saya, sekritis apapun penyakitnya, beliau tetap gubernur yang pernah menjadi sahabat saya. Banyak kenangan masa lalu yg terukir bersama beliau. Saya tidak tau apakah beliau masih mau mengingat masa–masa sulit itu atau tidak. Karena, selama beliau menjabat sebagai gubernur bisa dikatakan saya adalah sahabat yang paling jarang bertamu kerumah beliau. Sampai jari jemari ini saya paksakan menulis ini, saya belum juga kerumahnya serutin sahabat-sahabat beliau yang lain.
Seandainya saya memiliki kekuatan dan kemampuan untuk memediasi, mungkin hal seburuk ini tidak akan terjadi. Tapi sayang itu hanya andai-andai saya saja. Andai andai itupun baru muncul ketika saya sudah tidak mengenal beliau lagi. Sungguh, saya telah tidak mengenal sosok yang biasa saya sapa Teungku Agam.
Teungku Agam sekarang adalah sosok yang sudah mulai gemar memakai baret. Teungku Agam yang selalu menyisihkan waktunya untuk belajar menembak. Dia bukan lagi Teungku Agam. Dia hanya Irwandi. Gubernur Aceh.
Saya sadari itu. Kesadaran yang membuat saya menafikan persahabatan. Dengan berat hati, cukup saya simpan dalam kertas usang. Sungguh, saya tidak pernah memiliki sahabat yang gemar memakai baret. Gemar memegang senjata, kecuali dalam kondisi terjepit dan nyawa terancam. Tidak ada lagi suara lantangnya yang dulu dipergunakan untuk menggugat Jakarta. Kini, suara lantangnya itu telah dipergunakan untuk menggugat sahabatnya sendiri. Menggugat rekan-rekannya yang telah menggantarkan dirinya ke tampuk kekuasaan. Menggugat perdamaian yang sedang saya nikmati sekarang ini, dengan alasan sayang Aceh.
Mendengar gugatan seorang yang kini cukup ku panggil dengan Irwandi atas rekan-rekan seperjuangannya membuat jiwa saya terusik. Saya hanya seorang ibu rumah tangga yang tidak bisa menulis tapi kini memaksakan diri untuk menulis. Seorang perempuan biasa yang tidak memiliki kemampuan berdiplomasi akhirnya mulai belajar berdiplomasi. Sungguh, jiwa pemberontak yang telah lama saya kuburkan seakan meraung bak srigala kelaparan. Sepertinya hari itu saya telah sembuh dari penyakit lupa diri.
Seketika itu pula dengan rasa sedih yang begitu mendalam saya sempatkan diri mampir di rumah kediaman Muallem. Berharap bisa berbincang dengan beliau. Tapi, sayang beliau tidak berada di tempat sore itu. Akibatnya, jiwa ini terus saja menelangsa. Mencari jawaban atas apa yang sedang terjadi.
Saya sangat percaya Muzakir (Muallem) sosok yang sangat arif. Suatu sore di Simpang Mesra, beliau pernah berucap, mundur dan diam lebih baik. Jika kita tetap majupun sebagai kandidat, yakinlah pertumpahan darah antar timses (tim sukses) Irwandi dan PA akan berlangsung. "Hana payah jioeh, bak merepah tempat ikat spanduk manteng ka pake. Ta cok hikmah mantong (ngak usah jauh-jauh waktu berebut tempat pemasangan spanduk saja pasti akan terjadi pertengkaran. Kita ambil hikmahnya saja." Sungguh kalimat bijak yang keluar dari mulut seorang Mualem.
Itulah kearifan yang keluar dari sosok panglima, yang kukenal 9 tahun silam. Beliau tetap Muallem yang selalu berlama-lama dalam sujud dan zikir.Muallem yang selalu menjadikan mesjid sebagai tempat transitnya. Berbanding terbalik dengan perilaku Gubernur Aceh saya yang setelah mengeluarkan statement kalau independent tidak boleh ada di Aceh, sekarang beliau yang mengingkarinya. Begitu juga, setelah mengeluarkan statement semua pejabat pemerintah Aceh harus memakai INOVA sebagai kenderaaannya, malah beliau yang memakai Cheep Robicon.
Bagi saya, Muallem sebagai representative PA telah menunjukkan karakternya sebagai negarawan dan politikus sejati. Jadi wajar saja jika dalam beberapa hari ini kalimat-kalimat yang bertendensi simpati terus saja bergulir.Namun sekali lagi saya ingatkan, selaku anak Aceh yang belum berpaling dari garis lurus perjuangan, jangan terhipnotis dengan pujaan-pujaan sesaat, diakui atau tidak, PA (Partai Aceh) termasuk saya sendiri merupakan calon penonton dari sebuah pesta yang akan digelar sebentar lagi. Saya ingin bertanya, Apa yang bisa dilakukan oleh seorang penonton selain tepuk tangan? Atau, akan ada riak yang akan merubuhkan panggung sehingga pesta gagal digelar?
Walaupun DPRA tidak mengakui bahwa pesta tersebut sah menurut hukum dan tidak bertanggung jawab atas penyelenggaraan Pilkada Aceh, baik menyangkut dana APBA hingga kemasalah ritual Gubernur telpilih (Aceh.tribunnews.com/2011/10/09)Pesta tetap akan digelar. Pertanyaan selanjutnya, setelah pesta usai akan kemanakah sang pengantin itu berlayar?
Saya yakin lagi-lagi Jakarta tempat berlabuh. Inilah Aceh. Sebagian rakyatnya tidak pernah malu melacurkan dirinya dengan Jakarta. Luka lama belum juga sembuh, kini luka baru mulai kita torehkan. Bisa dibayangkan bagaimana kondisi Aceh kedepan, ketika disharmonisasi antara eksekutif dan legislatif telah terbangun jauh-jauh hari, otomatis pembangunan yang berkesinambungan, kesejahteraan bagi rakyat, pendidikan yang maksimal untuk generasi muda, kesehatan yang memadai akan mandek alias tidak akan berjalan maksimal seperti yang akan digaungkan oleh Jurkam dari setiap kandidat nantinya.
Dalam kondisi seperti inilah kita membutuhkan kecerdasan para pemilih dan kekritisan rakyat dalam mencerna apapun yang keluar dari mulut para kandidat.Apa yang sudah dilakukan oleh orang terdahulu seyogyanya bisa dijadikan bahan refleksi,pengalaman menjadi knowledge dari learning before,learning during,learning after berujung sebagai collective knowledge.Aceh milik Rakyat Aceh, sudah sepatutnya rakyat yang menentukan segalanya, bukan mereka-mereka!
Penulis : Cut Meutia (Farah)
Penulis adalah Ibu Rumah Tangga, Tinggal di Limpoek, Aceh Besar
Sumber : AtjehPost
0 Response to "Teungku Agam...Dia Bukan Lagi Teungku Agam"
Posting Komentar