Saya merasa bahwa pekerjaan mendidik adalah pekerjaan memahami secara lebih dalam. Pendidik memahami siswanya, dirinya, dan kemungkinan lain yang muncul di sekitarnya. Di antara hubungan itulah, saya kira, totalitas lahir.
Saya masih ingat saat saya masih kecil dulu, ibu selalu berusaha mengenal hal-hal kesukaan saya. Ia kemudian menjadikan hal tersebut sebagai upaya untuk membuat saya merasa senang dan bahagia. Misalnya, saat sekolah dasar saya sangat menyukai Pokemon. Sebuah judul anime yang tak pernah saya lewatkan penayangannya di televisi kala itu. Melihat saya begitu menyukai salah satu tokoh dalam anime bernama Pikachu, ibu menjadikan tokoh itu sebagai referensi saat membelikan saya barang. Ibu akan membeli sepasang ikat rambut dengan hiasan boneka Pikachu, membeli baju tidur dengan motif Pokemon, atau membeli alat tulis dengan ornamen Pokemon. Pun ketika saya menyukai Power Rangers Turbo terutama ranger biru, Justin. Ibu membiarkan saya mengoleksi aneka gambar Power Rangers. Tak jarang ibu membelikan saya baju mirip Justin seperti celana jeans, kaos, dan kemeja. Semua berwarna biru. Tak sepenuhnya saya menyukai pemberian ibu. Kadang, saya merasa tidak cocok dengan motif baju yang dibelikan ibu sebab motifnya terlalu penuh. Kadang pula, saya tidak suka warnanya sebab terlalu tua. Namun demikian, saya selalu senang dengan pemberian ibu sebab ibu telah berusaha memahami hal yang tengah jadi dunia saya.
Saya berkaca pada kenangan itu saat ini. Saat mengajar, saya tak ubahnya menjadi ibu yang tengah memahami anak-anaknya. Saya memperpanjang tangan batin saya untuk menyentuh dunia siswa-siswa saya. Saya berusaha keras memahami mereka. Saya pun mencoba sedemikain rupa mengenal hal-hal di luar unsur sekolah, misalnya keluarga siswa, lingkungan sekolah dan masyarakat. Hal-hal tersebut nyatanya adalah hal yang saling berkaitan. Akhirnya, saya tak bisa menyetarakan fakta siswa yang tak mengerjakan PR adalah siswa yang malas sebab konteksnya ternyata berbeda. Saya tak bisa mengabaikan kecenderungan siswa yang tak mengerjakan tugas karena harus bekerja membantu orang tua selepas sekolah atau buku tugas yang hilang karena terjual ke tukang loak. Kenyataan tersebut merupakan salah satu kemungkinan kecil saja dari begitu banyak hal yang mesti saya pahami di luar siswa itu sendiri. Di sisi lain, saya mesti mengukur diri. Memahami kemampuan diri saya sendiri. Sejak saya diminta mengajar di SMP Terbuka, saya makin menelaah diri saya sendiri. Seberapa mampu saya menyampaikan ilmu pengetahuan kepada siswa? Seberapa sanggup saya hadir untuk mengembangkan diri mereka?
Saya tak pernah menyangka akan jadi pengajar bahasa Inggris di sekolah tersebut sebab pada dasarnya latar belakang pendidikan saya adalah bahasa Indonesia. Alasan saya mengambil tawaran tersebut sebenarnya sederhana saja, saya merasa terpanggil untuk berada di sana dan mengajar anak-anak di sana. Selebihnya, saya seperti mengucapkan perkataan Ir. Soekarno di hadapan hadirin saat membuka Konferensi Asia-Afrika "bismillah, Godspeed!". Saya berserah dan berusaha semampu yang saya bisa. Dalam usaha saya itu, saya merasa tak boleh asal-asalan. Saya sangat ingat ujaran Kang Indra saat rapat guru untuk pertama kalinya. Beliau berujar "Hanya karena kita mengajar sukarela, jangan sampai usaha kita pun suka-suka. Sekadarnya". Sebuah "cemeti" yang membuat saya terus memperbaiki niat saya setiap hendak mengajar.
Seperti yang saya ungkapkan di atas, saya mesti menakar diri. Lantas, saya pun melakukan penelaahan atas kemampuan saya. Saya memang menyukai bahasa asing. Saya menyenangi bahasa Inggris sejak sekolah dasar dan pernah jadi juara lomba pidato bahasa Inggris saat sekolah menengah. Saya pun menyenangi bahasa Jepang dan Perancis. Namun, apa itu cukup? Jelas tidak. Saya tidak sedikit pun tahu apakah saya mampu mengajarkan itu pada siswa saya? Apakah saya sanggup menularkan kegemaran saya terhadap bahasa asing itu kepada mereka? Saya yakin tidak. Seratus persen tidak yakin. Selama empat tahun di perguruan tinggi, saya mempelajari cara mengajar bahasa nasional, bukan bahasa asing. Selama itu pula saya jarang menggunakan bahasa asing. Di tengah kondisi saya yang sangat serba terbatas keilmuan, saya merasa sangat tak pantas mengajar mata pelajaran itu kepada siswa saya. Namun justru di saat seperti itulah, saya terkenang upaya yang dilakukan ibu. Ibu begitu tulus berupaya memahami dunia saya. Saya merasa, itulah yang akhirnya mesti saya lakukan.
Saya tetap berupaya mengajar bahasa Inggris dengan terus menempa kemampuan diri. Saya mengikuti sebuah kursus bahasa Inggris, membaca sebanyak mungkin buku dan referensi tentang mengajar bahasa Inggris, dan berjejaring dengan rekan-rekan pengajar bahasa Inggris betulan. Saya berusaha memberikan yang terbaik untuk siswa-siswa saya.
Apakah kini saya merasa cukup? Tidak. Kemampuan bahasa Inggris saya memang bertambah, namun bukan itu yang sejatinya saya kejar. Saya masih harus memahami siswa saya. Dengan kemampuan tersebut, saya mesti meramu pembelajaran yang sesuai bagi siswa saya. Apakah siswa-siswa saya menyenangi upaya yang saya berikan berupa metode belajar, materi belajar hingga kesediaan saya untuk potensi mereka? Saya pun tidak persis tahu. Seperti halnya ibu saya yang tak persis tahu apakah saya menyukai motif dan warna baju Pokemon atau Power Rangers yang ia berikan. Namun demikian, ibu telah berusaha dan saya selalu bersyukur atas usahanya. Saya pun begitu. Saya sudah berupaya dan akan terus berupaya. Lalu, saya merasa bersyukur karena bisa terus berupaya memahami siswa saya, dunia di sekitarnya, dan diri saya sendiri. Di antara hubungan itulah, saya kira, totalitas mencintai itu lahir.
Cicalengka, 2015
0 Response to "Belajar Memahami"
Posting Komentar