Saya besar dan tumbuh di jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia di UPI. Selama empat tahun saya bergelut dengan hal-hal pembelajaran dan pengajaran Bahasa Indonesia. Tapi, jangan kira saya akan mengajar mata pelajaran tersebut di sekolah ini. Alih-alih mengajarkan mata pelajaran sesuai bidang yang didalami, saya justru mengajar pelajaran lain yakni Bahasa Inggris. Alasannya, karena tidak ada guru Bahasa Inggris. Lebih tepatnya, tidak ada yang mau mengajar Bahasa Inggris! Oh, lugas sekali.
Lalu, lain lagi dengan yang terjadi pada Pak Robiyana. Sepuluh tahun lamanya beliau mengajar Bahasa Inggris di beberapa SMP dan MTs di Cicalengka tak jadi jaminan beliau akan kembali mengajar Bahasa Inggris di sekolah ini. Di sekolah ini, beliau justru mengajarkan siswa cara menggocek bola hingga gawang dan menangkis bola voli. Ya, beliau saat ini mengajar pelajaran Penjaskes di sekolah kami. Pasalnya, posisi guru Bahasa Inggris itu sudah lebih dulu terisi oleh saya. Saya kemudian merasa bahwa hal yang saya, Agus, dan Pak Robiyana alami ini, tak ubahnya seperti judul sinetron yang sempat tayang di televisi swasta itu. Kami jadi seperti "Guru yang Tertukar". Apa yang "tertukar"? Mata pelajarannya.
Para "Guru yang Tertukar" bersama Pak Deddy Mizwar |
Bukan pengalaman baru
Menurut penuturannya, Pak Robiyana aktif di UKM olahraga saat kuliah. Beliau juga memang memiliki minat yang besar terhadap olahraga terutama sepak bola. Serupa dengan Pak Robi, demikian kami akrab menyapa beliau, Agus pun punya kaitan yang erat dengan bahasa Indonesia. Ia rupanya pandai menulis dan gemar membaca. Lalu saya? Menjadi penggemar budaya populer Amerika dan Eropa cukuplah kiranya menjadi dasar minat saya pada Bahasa Inggris.
Mata pelajaran yang kami ampu saat ini --yang bertolak belakang dengan bidang kami di bangku kuliah-- akhirnya tidak tampak jadi masalah besar. Bukan sebuah pengalaman baru, rupanya, berkhidmat dengan pelajaran yang kami ajarkan saat ini. Selain memang harus selalu siap tempur dalam pelajaran apapun, mata pelajaran yang kami ajarkan saat ini adalah juga bagian dari diri kami. Oleh sebab itu, tak jarang kami menggabungkan minat kami tersebut. Olah raga dan bahasa Inggris yang menjadi minat Pak Robi, misalnya. Saat mengajar pelajaran olahraga tak jarang ia meminta siswa berhitung dengan bahasa Inggris saat memulai pemanasan atau saat latihan melempar bola. Kemudian, Agus Akmaludin terbiasa memulai kelasnya dengan bercerita kisah-kisah sejarah dari berbagai dunia dan saya meminta siswa membaca puisi (dalam bahasa Indonesia) di kelas. Selain minat-minat kami jadi tersalurkan, kelas pun jadi ceria dan tak biasa.
Rupanya, mengajar merupakan hobi kami masing-masing. Maka tak masalah apapun pelajaran yang mesti diampu selagi masih mampu kami pelajari. Itu pula yang membuat mengajar, bagi saya, adalah juga belajar yang tak pernah selesai. Setiap saat kami harus terus menggali dan mengasah potensi dalam diri kami lalu mengembangkannya menjadi pelajaran yang menarik untuk disampaikan di kelas. Kami pun harus kembali membaca banyak buku, artikel, dan referensi lain terkait pelajaran yang kami ampu serta pengajaran yang efektif. Kami belajar dari banyak guru senior, dari rekan-rekan, bahkan tak jarang dari murid kami sendiri.
:D
0 Response to "Guru yang Tertukar"
Posting Komentar