Kota memang selalu menyajikan hal unik untuk dipelajari mulai dari keberagaman penghuninya, lingkungan, sampai sejarah kota tersebut. Saya memang bukan orang yang lahir dan tumbuh di kota besar melainkan di kabupaten, "satelit" dari kota besar Bandung. Namun demikian, kehidupan saya sangat beririsan dengan kota kembang ini. Sifat kota yang dinamis pun membuat saya tertarik membuat sebuah penelitian sederhana mengenai taman kota tematik dan kehidupan urban di Bandung saat mata kuliah Kajian Budaya. Ya, ketertarikan-ketertarikan inilah yang mendorong saya mengikuti sebuah diskusi buku mengenai kota di Jawa tempo dulu.
Diskusi buku karya Olivier Johannes Raap itu digelar pada Selasa (29/9) di aula Pusat Studi Bahasa Jepang (PSBJ) Unpad oleh Himpunan Mahasiswa Sejarah Unpad bekerja sama dengan Komunitas Layar Kita, Perpustakaan Batu Api, dan Penerbit Gramedia. Buku berjudul Kota di Djawa Tempo Doeloe tersebut merupakan buku ketiga yang diterbitkan Olivier setelah dua buku sebelumnya berjudul Pekerdja di Djawa Tempo Doeloedan Soeka-Doeka di Djawa Tempo Doeloe. Dalam buku terbarunya, kolektor kartu pos lawas kelahiran Belanda ini menyuguhkan situasi kota, bangunan, dan unsur-unsur pembangun kota di Jawa pada tahun 1900-an sampai 1950-an. Sekira 277 lembar foto kartu pos dari seribuan kartu pos koleksinya turut disuguhkan dalam buku tersebut.
Jilid buku Kota di Djawa Tempo Doeloe |
Kota-kota yang dibahas dalam diskusi buku tersebut antara lain Batavia, Bandung, Surabaya, dan Semarang. Pada sesi pertama, Olivier menjelaskan gaya arsitektur bangunan di Jawa zaman dahulu. Dari bentuk dan gaya arsitektur sebuah gedung, kita dapat memperkirakan usia bangunan tersebut. Biasanya, gaya bangunan zaman kolonial ditandai dengan jendela yang lebar dan atap yang memanjang. Pada masa kolonial, bangunan-bangunan yang terdapat di pinggir jalan harus menyediakan area untuk pejalan kaki setinggi 31 cm dan luas 150 cm atau sekira lima kaki (five feets). Istilah inilah yang kemudian digunakan untuk menyebut para pedagang yang mangkal di trotoar jalan dengan "pedagang kaki lima".
Selain bentuk bangunan, lelaki yang menempuh studi arsitektur di Delft ini menjelaskan seluk beluk pasar. Ini adalah bagian yang saya sukai sebab pasar serupa pusat aktivitas sebuah daerah. Pasar pun telah tumbuh sejak pertama kali manusia mengenal sistem jual beli. Pasar di Jawa, menurut Oliv, memiliki keunikan dari namanya. Nama-nama pasar di Jawa diambil dari nama hari saat pasar tersebut rutin dibuka. Pasar Jumat atau Pasar Rebo, misalnya. Pasar ini tentu dibuka hanya pada hari Jumat atau Rabu saja. Pasar Wage yang terdapat di Purwokerto pun dibuka hanya pada hari itu saja. Wage dalam penanggalan Jawa merupakan salah satu nama hari dalam lima nama pasaran Jawa.
Masih mengenai pasar, Bandung memiliki pasar bernama Pasar Baru. Dari seberang terminal stasiun pintu selatan, terlihat dua buah bangunan yang membentuk gerbang masuk menuju pasar baru. Pada masa kolonial, dua bangunan ini adalah pos polisi dan pos kepala pasar. Dua bangunan tersebut lazim ada dalam tata ruang sebuah pasar. Setelah dilakukan renovasi pada tahun 2001, dua bangunan tersebut sudah tidak tampak lagi.
Pasar Baru Bandung. Foto ini diambil dari web Ridwan Hutagalung karena saya belum baca langsung buku Olivier. :D |
Setelah menjelaskan tentang seluk-beluk pasar, lelaki 48 tahun ini kemudian menjelaskan permukiman. Pecinan adalah jenis permukiman yang pertama kali ia jelaskan. Pecinan pertama kali digagas pada tahun 1816 di masa kolonial Belanda. Saat itu, Belanda merasa terancam dengan keberadaan warga Tionghoa yang menetap di Hindia Belanda. Untuk alasan pengontrolan, keamanan, dan persaingan dagang maka pemerintah kolonial membuat peraturan agar para warga Tionghoa bermukim di pecinan. Permukiman khusus tersebut biasa terletak di batas kota, tepatnya terletak di dekat pasar dan kawasan Belanda.
Keberadaan permukiman warga Tionghoa ini memberi warna bagi sebuah kota. Gaya arsitektur negeri tirai bambu menghiasi sudut kota. Ciri khas bangunan-bangunan tersebut antara lain warna merah serta keemasan yang khas, atap pelana dengan ujung melengkung ke atas, dan bangunan dua lantai yang berfungsi sebagai ruko. Pecinan pun merupakan kawasan yang selalu menjadi pusat keramaian dengan aktivitas jual beli. Menjelang tahun 1920, warga Tionghoa lagi tidak harus menetap di pecinan. Mereka dapat tinggal berbaur bersama warga yang lain di penjuru kota.
Selain warga Tionghoa, terdapat pula permukiman yang dihuni para pendatang dari India dan Yaman. Keberadaan mereka menambah semarak warna kota. Daerah Pekojan merupakan satu kawasan di Jawa yang dihuni oleh muslim India. Kawasan tersebut diambil dari kata "Khoja", sebuah nama daerah di India. Ciri khas bangunan mereka adalah menara tinggi yang menjulang serta pintu tinggi yang melengkung. Biasanya, permukiman mereka berada di belakang sebuah masjid. Warga yang datang dari luar pulau Jawa pun rupanya tertarik untuk turut menghidupkan kota-kota di Jawa. Beberapa di antaranya adalah warga Madura dan Melayu. Kawasan-kawasan khusus yang mereka huni pun dapat ditemukan di kota-kota di pulau Jawa.
Adanya daerah-daerah khusus yang dihuni etnis atau bangsa tertentu bukanlah hal yang direncanakan sejak awal pendirian sebuah kota. Kota, kata Olivier, tumbuh dinamis secara alami. Dalam perkembangannya, kota dihuni oleh beragam suku, ras, dan agama.
Suasana diskusi buku Kota di Djawa Tempo Doeloe di PSBJ Unpad. Foto milik teh Arumtyas karena kualitas foto dari ponsel saya buruk :D |
Selain menyusuri sejarah pasar dan permukiman, Olivier kemudian mengajak peserta diskusi mengenal sejarah nama-nama jalan di Jawa. Jalan di pulau Jawa menggambarkan kepemilikan tanah dan situasi geografis di suatu daerah. Nama-nama jalan seperi Tumenggungan dan Kranggan adalah nama jalan yang diambil dari gelar bangsawan Jawa sebagai pemilik tanah di kawasan tersebut. Ya, sistem kepemilikan tanah memang erat kaitannya dengan feodalisme di Jawa. Nama jalan yang diambil dari kondisi geografis sebuah kota terdapat pada jalan Kaliasin, Pisang Batu, dan Kaca-Kaca Wetan. Nama Kaliasin di Surabaya diambil dari letak laut yang dahulu begitu dekat dengan pusat kota Surabaya. Pisang Batu diambil dari sebuah pohon pisang batu yang dahulu terdapat di Jakarta. Lalu, jalan Kaca-Kaca Wetan yang terdapat di Bandung (yang juga alamat rumah saya di Cicalengka) diambil dari bahasa Sunda yang berarti gerbang. Kaca-kaca wetan berarti gerbang menuju pusat kota yang terletak di sebelah timur.
Penulis buku Kota di Djawa Tempo Doeloe bersama koleksi kartu pos miliknya. Foto dari koran tempo edisi Juli 2015. |
Banyak sekali hal yang dapat dipelajari dari sejarah sebuah kota. Dalam hal ini, dari sebuah kartu pos lawas yang disuguhkan olivier dalam bukunya. Namun terkait hal ini, Olivier mengatakan bahwa masyarakat Jawa kurang mendokumentasikan sesuatu dengan baik. Hal itu ia ungkapkan saat salah seorang peserta bertanya tentang kesulitan yang dialami Olivier ketika menyusun buku ketiganya. "Saya sulit menemukan referensi sejarah dari sebuah kota yang tidak memiliki warga asing (Eropa)" ujarnya. Olivier mencontohkan kota Kudus sebagai kota yang kurang referensi sejarahnya. Kemungkinan hal itu berkaitan dengan sedikitnya jumlah warga Eropa di daerah tersebut. Nah, pernyataan Olivier ini tentu menjadi pelajaran berharga bagi kita selaku warga sebuah kota. Mendokumentasikan kekayaan sebuah kota bisa menjadi cara mencintai kota tersebut, bukan?
0 Response to "Menyusuri Kota di Jawa Tempo Dulu"
Posting Komentar